Total Tayangan Halaman

Rabu, 24 November 2010

GOOD PRACTICES UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI PERGURUAN TINGGI

Dalam mewujudkan "Good Governance" di Perguruan Tinggi terdapat 9 (sembilan) prinsip yang harus di implementasikan, yaitu :
  1. Parsisipasi Stakeholder dalam pengambilan keputusan
  2. Taat pada hukum, aturan dan kesepakatan bersama
  3. Transparansi dalam proses, lembaga dan informasi
  4. Tanggap terhadap kebutuhan dan kepentingan pelanggan
  5. Konsensus untuk pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas
  6. Keadilan bagi seluruh warganya
  7. Efektif dan efisien dalam setiap aktivitas
  8. Akuntabilitas dalam segala hal yang dilakukan
  9. Memiliki Visi yang strategik dalam pengembangan SDM nya 
Untuk melaksanakan 9 (sembilan) prinsip tersebut Perguruan Tinggi perlu mempraktekkan "Good Practices" berikut ini :


  1. Evaluasi diri secara periodik
  2. Merumuskan Standard Operation Procedure (SOP) untuk setiap jenis kegiatan operasional dan mensosialisasikan secara efektif
  3. Membudayakan mekanisme sistem pertanggung jawaban pada setiap aktivitas yang dilakukan
  4. Mengembangkan dan melaksanakan sistem monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan
  5. Mengutamakan mutu dan selalu melakukan perbaikan berkelanjutan
  6. Memberikan kewenangan yang jelas pada masing-masing unit
  7. Menngunakan sistem akreditasi yang berlaku sebagai arah pengembangan dan peningkatan
  8. Menetapkan unit cost secara rasional untuk setiap kegiatan operasional
  9. Menumbuhkan sussana akademik dalam kehidupan kampus
  10. Mengupayakan keberlanjutan progam
  11. Menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan lain, kalangan bisnis dan industri, dan kalangan pemerintah daerah/ nasional
  12. menjunjung tinggi nilai-nilai perguruan tinggi seperti integritas, keterbukaan, kejujuran, kebenaran dan lain-lain
  13. Pengambilan keputusan berdasarkan fakta dan data, serta informasi yang terpercaya
  14. Perencanaan, rekruitmen dan pengembangan SDM untuk meraih mutu
  15. Membangun dan memfungsikan sistem penjaminan mutu, guna mengendalikan mutu pada aspek akademik dan non akademik
  16. Mengadakan media komunikasi vertikal dan horizontal
  17. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT), guna memperlencar arus informasi dan komunikasi
  18. Memberikan bimbingan individual pada mahasiswa terkait denngan bidang akademik dan non akademik
  19. Menciptakan budaya kerja baru yang lebih produktif,akuntabel, efektif dan efisien, diperlukan keseimbangan peranan-tugas-tanggung jawab-fasilitas kerja dan remunerasisasi 

Senin, 15 November 2010

PENGHALANG ITU BERNAMA "SELF IMAGE"

Seringkali kita menemui kesulitan untuk mewujudkan sesuatu, apakah itu merupakan tujuan tertentu atau ingin membentuk perilaku tertentu.  Salah satu yang menjadi faktor penghambat utama adalah suatu selubung diri yang sangat kuat atau yang dikenal dengan "Self Image".  Self image adalah persepsi tentang diri kita sendiri oleh kita sendiri, dan sering tidak kita sadari, karena memiliki bentuk yang sangat halus atau abstrak.  Self image lebih bersifat global yang menyerupai payung besar, yang menaungi seluruh kecenderungan tindakan kita dalam berpikir maupun bertindak.  Self image juga di analogikan sebagai "Kartu Identitas" yang kita perkenalkan pada alam semesta.
Self image merupakan selubung atau filter yang sangat kuat yang mempengaruhi pemikiran, dan hanya akan meloloskan pemikiran yang sejalan dengan Self Image tersebut, sebaliknya akan mematahkan pemikiran yang tidak sejalan.
Berbagai "Outcomes" atau "Objectives" sangat sulit bahkan mustahil dapat dicapai, jika bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Self Image.  Oleh karena itu penting bagi kita untuk betupaya membersihkan terlebih dahulu Self Image yang tidak memberdayakan dari diri kita dan memasukkan Self Image yang diperlukan.
Self Image merupakan ekspresi dari Belief System kita, dan pada umumnya betrsifat global (Chunk-up), seperti misalnya :
"Saya pribadi yang menarik"
"Saya selalu gagal"
"Saya tidak memilki darah bisnis"
"Saya dilahirkan sebagai pemimpin"
"Saya ditakdirkan untuk menderita"
"Saya selalu mampu menyelesaikan permasalahan"
Ketika kita ingin membangun Self Image tertentu, maka kita perlu mengamati terlebih dahulu apakah ada self image yang tidak memberdayakan kita, kalau kita mampu mengidentifikasikannya selanjutnya berupayalah untuk menghilangkannya.
Self Image bersifat global, maka tidak ada salahnya kita memasukkan sebanyak-banyaknya berbagai self image yang memberdayakan kita dalam mewujudkan berbagai outcome atau mengubah behavior tertentu.
Saat ini Self Image dapat diprogamkan pada diri kita, melalui teknik Hipnosis, NPL, Psychocybernetic atau berbagai teknik lainnya yang sejenis.

"Selamat merekayasa ulang Self Image kita masing-masing......."

Bushido, Sebuah Transformasi Nilai Karakter Bangsa Melalui Jalan Hidup Samurai

Transformasi adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia.  Tanpa transformasi maka dapat dipastikan bahwa manusia tidak akan bertahan.  Begitu juga dalam konteks masyarakat atau bangsa, dimana bangsa yang tidak mau atau tidak mampu melakukan transformasi tidak akan survive menghadapi perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan kemajuan teknologi.
Satu cerita sukses dalam transformasi nilai-nilai tradisional ke dalam kehidupan modern muncul dari bangsa Jepang.  Negara ini dikenal di seluruh dunia sebagai sebuah negara tempat munculnya ide-ide brillian dan inovasi teknologi robot sebagai pembantu manusia di era milenium.
Jepang yang modern tidak dapat dipisahkan dari srejarah kebangkitan bangsanya dari keterpurukan akibat pergulatan kekuasaan hingga tahun 1868.  Restorasi Meiji adalah titik balik dalam sejarah bangsa Jepang, sejak itulah kesadaran mulai dirasakan , adanya kekuatan-kekuatan besar di luar mereka yang kemudian menggerakkan bergulirnya modernisasi.  Restorasi Meiji merupakan usaha besar Kaisar Meiji untuk menciptakan Jepang baru, yaitu transformasi dari negara terisolasi dan miskin menjadi negara yang modern dan eksis dalam kancah internasional, hal ini kemudian terealisasi di abad dua puluh.
Kepribadian bangsa Jepang yang berhasil mengawal dalam proses transformasi adalah karakter-karakter yang bersumber dari semangat Bushido.  Semangat yang telah menjadi pondasi dasar dan berakar pada bangsanya.  Salah satu substansi Bushido yaitu rasa malu, bangsa Jepang malu terhadap lingkungan jika melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.  Harakiri menjadi ritual sejak era Samurai.  Mereka mempunyai semboyan yang sangat keras, menang atau kalah, dan kekalahan harus berakhir dengan kematian.  Ketika Jepang memutuskan untuk menyerah pada Amerika, banyak tentara yang ,memilih mati.  Istilah mengundurkan diri bagi para pejabat, menteri, dan sebagainya yang terlibat korupsi atau merasa gagal dalam menjalankan tugas sebagai alternatif.  Menteri Pertanian Jepang Tahun 2007 mengundurkan diri dari jabatannya karena terjerat kasus korupsi, bahkan akhirnya memilih bunuh diri.  The Deputy Major of Kobe melakukan hal yang sama, karena merasa tidak mampu menjalankan tugas memulihkan kota Kobe pasca gempa bumi tahun 1995, melompat dari gedung yang tinggi.  Disisi lain Yakuza atau mafia Jepang, rasa malu dan penyesalan ditunjukkan dengan cara memotong jari tangan mereka.
Modernisasi yang terjadi pada Jepang tidak menampakkan kecenderungan ke wajah individualisme.  Juga tidak mengekspresikan wajah meningkatnya perang antar saudara, tapi diwarnai dengan solidaritas dan kegotong royongan.  Budaya untuk tetap semangat, menjaga warisan leluhur atau budaya tradisional, karena dengan nilai-nilai budaya tersebut dapat memfilter ekses-ekses negatif dari modernisasi.
Karakter suatu bangsa hendaknya terbentuk dikarenakan masyarakatnya sarat dengan karakter yang unggul dan belajar dari keberhasilan orang lain, sehingga bangsa Jepang tidak segan-segan menyerap pola pikir dan cara hidup bangsa lain sebagai titik tolak untuk perubahan bangsanya.

Jika ingin kemakmuran 1 tahun, tumbuhkanlah benih

Jika ingin kemakmuran 10 tahun, tumbuhkanlah pohon

Jika ingin kemakmuran 100 tahun, tumbuhkanlah manusia

Kata-kata di atas merupakan filosofi Konfusius yang dipakai para pemimpin Jepang untuk memajukan negaranya.  Makna tumbuhkanlah manusia berarti harus bermula pada karakter bangsa.  Jika Jepang bisa, Indonesiaku pun harus bisa.

Rabu, 10 November 2010

QUALITY OF WORK LIFE

Quality of Work Life (QWL), adalah suatu pendekatan yang sangat menarik, yang merupakan pendekatan sistem untuk mendesain pekerjaan (Job Design) dan pengembangan dalam ruang lingkup yang luas, terutama dalam melakukan Job Enrichment. Sehingga QWL bukan saja merupakan pendekatan yang luas terhadap Job Enrichment, tetapi juga merupakan bidang multi disiplin, dan merupakan perpaduan antara disiplin ilmu industri dan psikologi organisasi, teknik industri, teori organisasi, motivasi, leadership dan industrial relation.  Terdapat dua pandangan mengenai QWL, pertama, QWL merupakan sejumlah keadaan dan praktek dari tujuan organisasi (contohnya, budaya kerja, penyeliaan yang demokratis, keterlibatan karyawan, dan kondisi yang aman).  Kedua, menyamakan QWL dengan persepsi karyawan bahwa mereka aman, ada perbaikan lingkungan kerja, secara relatif imbalan terpuaskan,an mampu untuk tumbuh dan berkembang layaknya manusia.
QWL telah mendapatkan tanggapan yang antusias dari berbagai pihak, banyak manajer yang telah mempraktekkannya terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan produktivitas yang stagnant. Konsep dari kepuasan individu dinyatakan dalam QWL, dimana mengungkapkan pentingnya penghargaan terhadap manusia dan lingkungan kerjanya.  Peran penting dari QWL adalah mengubah iklim kerja agar organisasi secara teknis dan manusiawi membawa pada QWL yang lebih baik.  Tipe dari kegiatan kehidupan QWL meliputi : (1) Berpartisipasi dalam pemecahan masalah, (2) Restrukturisasi kerja, (3) Sistem imbalan yang tertata dan (4) Memperbaiki lingkungan kerja.  Dari konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa QWL mampu mengubah sikap dan perilaku SDM untuk menghadapi tantangan.